Dengan media yang berkembang pesat saat ini, istilah “digital” telah menjadi pisau bermata dua bagi saluran media tradisional sebab dapat merepresentasikan ancaman sekaligus peluang. Seiring dengan banyaknya pemasang iklan yang mengalihkan alokasi belanja mereka ke digital platform dan media sosial, media tradisional menghadapi tantangan yang belum pernah dialami.

Dampaknya terhadap Media Cetak

Dampak dari digitalisasi sangat berat, khususnya bagi media cetak. Tidak sedikit koran dan majalah yang tutup atau berubah haluan menjadi publikasi online sebagai usaha untuk tetap berdiri. Terjadinya efisiensi jumlah pekerja atau bahkan media yang menaungi mereka gulung tikar menjadi kekhawatiran sehari-hari bagi para pekerja media.

Perjuangan Radio

Radio, yang dulu berjaya di industri media, juga berjuang untuk beradaptasi dengan era digital. Meski para eksekutif radio masih tampak percaya diri dengan pernyataaan, “Selama masih ada kemacetan, industri radio masih akan survive.”, namun sesungguhnya mereka menghadapi kompetisi yang meningkat dengan layanan streaming dan platform musik online. Stasiun radio bahkan terpaksa meniru televisi dengan mengadopsi artis atau selebriti sebagai penyiar andalan mereka, demi menaikkan jumlah pendengar dan pemasang iklan.

Telivisi: Raja yang Berkuasa Terancam

Televisi yang selama ini dapat disebut sebagai ‘raja’ penarik iklan, kini juga mulai ketar-ketir. Meski televisi masih memegang peran dominan dengan penetrasi pada masyarakat sekitar 95%, pesatnya akses internet telah menciptakan perubahan konsep masyarakat dalam menikmati tayangan broadcast atau penyiaran.

President Director PT. Indonesia Entertainmen Produksi (IEP), Indra Yudhistira Ramadhan, mengatakan bahwa televisi juga mulai memasuki masa senja. Menurutnya, walaupun jumlah audiens televisi masih tergolong banyak, kemudahan akses internet telah membuat penonton bisa memilih sendiri jenis program atau tayangan yang mereka suka, termasuk kapan waktu menontonnya.

Dengan 75 juta interaksi internet, Indonesia pun dijuluki sebagai ibukota social media dunia. Kemudahan akses akan internet ini kemudian membuat masyarakat Indonesia mempunyai kuasa atas konten yang ingin mereka nikmati. Misalnya, alih-alih menunggu sebuah acara tayang di televisi, penonton dapat menontonnya di YouTube kapanpun sesuai keinginan mereka.

Layanan streaming seperti Netflix, Amazon, dan Viu, juga gencar membuka peluangnya di Indonesia dengan menawakan jenis konten yang beragam untuk menarik minat penonton. Layaknya radio, televisi mulai tergerus dengan keberadaan penyedian konten kreatif. 

Indra meningatkan, “Bukan tidak mungkin dalam 5 sampai 10 tahun lagi, industri televisi akan hilang”. Ia menuntut televisi untuk melakukan transformasi dengan mengubah konsep siarannya dan merambah medium digital, tentunya dengan tetap menyajikan program atau konten yang diminati masyarakat.

Perubahan ini perlahan juga membuat para pemasang iklan di televisi mengalihkan diri dengan beriklan pada konten-konten digital dengan potensi ditonton oleh lebih banyak pihak dan skala engagement yang lebih besar. Meski demikian menurut Indra, saat ini para pengiklan masih menggunakan televisi sebagai sarana untuk mengiklankan produk mereka karena jangkauannya yang demikian massif dan dampaknya yang besar.

Meski dihadapi dengan tantangan, Indra percaya bahwa televisi masih memiliki masa depan asal memiliki kemauan untuk beradaptasi dan merangkul strategi digital. “Siapa yang paling siap untuk menghadapi perkembangan yang luar biasa dan cepat inilah yang akan menjadi pemenang,” simpulnya. “Semua pihak di industri harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat.”

Keberadaan perubahan digital bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi praktisi kehumasan. Di sisi lain, para praktisi dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam membuat strategi, memanfaatkan saluran digital untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, dan berinteraksi dengan pemangku kepentingan.

Di lain pihak, hal ini juga membuka peluang bagi media tradisional untuk memperlihatkan nilainya ditengah-tengah gempuran dunia digital. Lebih lagi, praktisi kehumasan dapat berperan membantu perusahaan dan organisasi untuk memahami kekuatan tersendiri dari media tradisional dan mengintegrasikannya secara efektif ke dalam strategi komunikasi.

Kesimpulannya, perubahan digital yang terjadi menuntut media tradisional untuk beradaptasi dan berkembang. Walaupun tantangan tentu akan datang, pada saat yang sama, peluang pun akan terbuka bagi siapa pun yang ingin merangkul perubahan. Praktisi kehumasan dapat berperan penting dalam membantu media tradisional mengarungi perubahan dan mencari cara baru untuk terkoneksi dengan para audiens.

Penulis: Dewi Bastina, Senior Associate ID COMM.