Netflix, Disney+, Viu, Prime Video, dan Vidio adalah sedikit dari platform video streaming berbayar atau Subscription Video-on-Demand (SVoD) yang digandrungi di Indonesia. Berdasarkan penelitian dari LIPI dan Kemenparekraf, pelanggan SVoD mengalami kenaikan signifikan selama tiga tahun terakhir, dimana 50,2% responden mulai berlangganan saluran SVoD sejak pandemi Covid-19.
Hingga kini, Millenial dan Gen Z dengan rentang usia 18-35 tahun, rela untuk merogoh kocek hingga Rp250.000 per bulan demi berlangganan platform video streaming berbayar. Mereka, yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai moviebugs, K-drama lovers, binge-watcher, atau otaku/wibu, bersedia untuk berselancar di aplikasi SVoD secara reguler setiap hari untuk mencari hiburan dan menjadi yang pertama dalam menyaksikan acara kekinian.
SVoD menawarkan kebebasan bagi penikmatnya melalui tayangan yang variatif, terkini, kemudahan akses untuk menyaksikan kembali konten dan menyebarluaskan ke publik luas, juga berkomunikasi aktif dengan pembuat konten. Sensor yang cenderung longgar menjadikan para pembuat konten mendapatkan angin segar dalam menyampaikan pesan. Melalui karyanya, para pembuat konten dapat mengubah persepsi, perilaku dan melakukan klarifikasi. Sebut saja film dokumenter The Social Dilemma yang terkenal dengan tagline-nya “If you’re not paying for the product, then you’re the product”, berhasil membuat kita untuk lebih kritis, bijak, dan berhati-hati menggunakan teknologi internet dan media sosial.
Munculnya SVoD sebagai saluran hiburan baru bergesekan langsung dengan jumlah kunjungan ke bioskop. Data memperlihatkan pada tahun 2019 hingga 2020, terjadi penurunan minat penonton bioskop sebesar 60% yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Kondisi ini semakin memburuk pada tahun 2021 dimana minat menonton bioskop turun hingga 80%. Kontras dengan pendapatan dari langganan SVoD Indonesia yang bisa mencapai USD 411 juta dengan penetrasi pengguna sebesar 16% di tahun 2021 dan diperkirakan akan naik hingga 20% di tahun 2025. Hal ini sedikit banyak membuat banyak film berkelas dengan berbagai penghargaan, urung rilis melalui bioskop dan beralih SVoD. Contohnya Jakarta vs Everybody, Penyalin Cahaya, Maestro, Don’t Look Up, Marriage Story, dan live action dari seri final anime terkenal, Rurouni Kenshin.
Apakah ini menjadi titik akhir sineas layar lebar? Layaknya milyaran penduduk dunia, sineas film pun perlu beradaptasi meredefinisi target audiens atau penikmat film pada era teknologi modern. Jika di masa dulu bioskop berlomba menciptakan sensasi menonton yang tak terlupakan melalui kecanggihan studionya, sekarang fasilitas tersebut dapat tersedia di gadget dan fasilitas home theatre dengan harga terjangkau. Walaupun belum ada data pasti yang menunjukkan terjadinya pergeseran audiens dari bioskop ke SVoD, tetapi fenomena ini adalah sebuah keniscayaan dari semakin mendunianya kemudahan akses ke digital.
Selain beradaptasi dengan zaman, sineas film sejatinya dapat memanfaatkan kelebihan dari SVoD sebagai saluran penyampai pesan. Dengan jutaan pelanggan global yang berasal dari berbagai macam latar belakang, maka pesan komunikasi bertujuan sosialisasi, persuasi, edukasi, dan hiburan akan lebih powerful karena tersebar secara masif. Tak hanya regional antar benua, konten yang disiarkan melalui SVoD dapat memengaruhi khalayak internasional dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan momen penting di seluruh dunia, melalui audio-visualnya yang menarik.
Lebih jauh, sineas film dapat membuka jejaring kolaborasi yang luas dengan pemilik SvoD dengan menggarap film-film box office menjadi serial. Komunikasi hiburan yang tadinya terbatas di maksimal durasi 3×60 menit, dapat dimaksimalkan ke dalam seri spin-off, seperti Star Trek: Prodigy dan The Lord of the Rings: The Rings of Power.
Alih-alih film mampu menjadi media mengekspresikan idealisme, konten SvoD, baik film maupun serial, justru memerdekakan para pembuat konten untuk mengeksplorasi emosi penonton melalui muatan pesan komunikasi yang beragam. Di masa depan, SVoD berpotensi besar untuk dimanfaatkan para sineas mengembalikan marwah yang sesungguhnya dari sebuah film, yaitu sebagai saluran penyampai pesan komunikasi massa, yang tak lagi dikerdilkan dengan target pencapaian angka penjualan tiket, rating penonton, ataupun sensor yang ketat.
Penulis: Adeanti Prasti, Senior Associate ID COMM
Editor: Dewi Bastina, Senior Account Manager ID COMM.