Emoji love berwarna merah. Apa yang langsung terlintas di pikiranmu? Cinta, mungkin. Tapi bagi Gen Z dan Gen Alpha, warna bukan sekadar estetika. Love warna ungu bisa menyiratkan sindiran seksual, kuning menunjukkan ketertarikan, pink melambangkan kedekatan tanpa romantisme. Semua tergantung konteks, siapa yang mengirim, dan kapan itu muncul.

Serial Adolescence di Netflix menggambarkan hal yang sering luput dari mata orang dewasa. Dunia digital anak bukan ruang aman penuh emoji lucu, tapi wadah yang mewakilkan dinamika hubungan sosial yang kompleks – terutama di masa remaja yang sangat sarat dengan tekanan kelompok sebaya dan pencarian jati diri. Di episode kedua, emoji dinamit dan love cukup untuk membuat seorang anak dirundung seisi sekolah. Simbol kecil, namun berdampak besar.

Adolescence mengikuti konflik remaja yang hidup di tengah notifikasi, emoji, dan layar gadget yang nyaris tak pernah padam. Koneksi sepanjang hari tidak membuat mereka merasa lebih terhubung, justru semakin menenggelamkan mereka dalam kesepian dan kebingungan identitas. Ini mendorong munculnya prioritas semu: membangun citra, mencari validasi, menjadi viral, bahkan ikut merundung orang lain demi terlihat relevan atau sekadar bertahan.

Konflik utama muncul ketika generasi senior mencoba masuk sebagai pahlawan kesiangan yang seakan paham segalanya. Mereka membawa logika dan asumsi lama yang bukannya menjembatani, justru memperlebar jarak yang sudah ada. Serial ini menjadi sinyal code blue bahwa komunikasi anak-anak hari ini tidak bisa dibaca dengan kacamata konvensional.

Ketika Bahasa Digital Tak Terbaca

Emoji, sticker, fitur close friends, dua centang biru atau abu-abu di WhatsApp, siapa yang di-tag atau tidak, siapa yang masuk ke group chat, semua itu adalah bentuk komunikasi sosial yang sarat makna. Bahasa ini tidak diajarkan secara formal, tapi diinternalisasi dalam lingkungan sosial yang terus berkembang. Satu simbol atau variasi huruf bisa punya arti berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya dan dalam konteks apa.

Pergeseran ini juga mengubah bentuk bullying. Kini, eksklusi bisa terjadi secara diam-diam dan tanpa satupun kata kasar: tidak diajak masuk grup, dijadikan bahan lelucon di media sosial, pesan yang tak dibalas, atau dikirim emoji dan meme sindiran. Anak-anak tahu mereka sedang disingkirkan, tapi tidak punya cukup bukti eksplisit, keterbukaan, dan kemampuan berkomunikasi untuk menjelaskannya kepada orang dewasa. Dalam situasi ini, bukan penyelesaian yang terjadi, melainkan penundaan penyelesaian terhadap luka batin yang semakin tebal. Akibatnya, mereka belajar untuk menyembunyikan rasa sakitnya, bukan memproses dan menyembuhkannya.

Dalam Teori Communication Accommodation (CAT), kondisi yang terjadi pada orang dewasa mencerminkan kegagalan melakukan convergence, yaitu penyesuaian gaya komunikasi agar tercipta kedekatan. Orang dewasa sering kali tidak hanya kesulitan menyesuaikan diri, tetapi juga gagal membaca gaya komunikasi yang digunakan generasi saat ini.

Alih-alih mendekat, sikap meremehkan justru menciptakan divergence. Jarak komunikasi semakin melebar, dan anak muda dianggap masih berperilaku seperti biasa, padahal dunia mereka telah berubah. Begitu pula di mata anak-anak dan remaja, orang dewasa kerap tampak seperti alien dari planet lain, datang membawa bahasa dan logika sendiri yang terasa usang, tidak nyambung, dan tidak benar-benar mau mendengarkan.

Keberimbangan Teknologi dan Empati

Selama ini, orang dewasa merasa cukup paham hanya karena familiar dengan platform digital atau bisa mengatur batasan layar. Nyatanya, kemampuan teknis saja tidak cukup. Dunia digital membentuk identitas, mengatur status sosial, dan menciptakan tekanan emosional yang tidak bisa dibaca lewat fitur privasi atau parental control saja.

Dalam konteks CAT, ini menunjukkan bahwa orang dewasa belum siap melakukan penyesuaian komunikasi yang sejajar dengan dunia generasi muda. Anak-anak dan remaja tidak butuh lebih banyak kontrol. Mereka butuh didengar, dimengerti, dan ditemani. Literasi digital emosional berarti mampu membaca konteks, menangkap nuansa, dan memahami simbol serta gestur sosial yang membentuk dinamika mereka sehari-hari.

Adolescence bukan sekadar kisah remaja. Serial ini menjadi sebuah peringatan bahwa dunia digital bukan tentang anak-anak yang terlalu aktif, tetapi tentang orang dewasa yang terlalu pasif dalam memahami. Kita terburu-buru menilai tanpa mencoba mendengar, dan merasa lebih tahu tanpa benar-benar hadir.

Komunikasi seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok. Dalam perspektif CAT, jembatan ini hanya bisa terbentuk jika kita, sebagai orang dewasa, mau melakukan convergence dengan masuk ke dunia mereka, memahami bahasanya, dan menyelaraskan cara kita berbicara dan mendengar. Bukan dengan memaksa mereka bicara dalam bahasa kita, melainkan dengan belajar mendengarkan bahasa mereka.