Wajah siapa pun kini bisa diubah menjadi karakter kartun dalam hitungan detik. Hasilnya tampak estetik, lucu, dan tentu saja kekinian. Mata besar yang berkilau, gradasi pastel yang lembut, dan nuansa magis khas Jepang menjadi ciri utama yang mudah dikenali. Namun di balik visual viral ini, ada satu nama besar yang jarang disebut: Studio Ghibli.
Mungkin Anda pernah menonton Spirited Away, My Neighbor Totoro, atau Howl’s Moving Castle. Karya-karya ini tidak hanya menuai pujian, tetapi juga meraih berbagai penghargaan internasional, termasuk Academy Award. Di baliknya berdiri Hayao Miyazaki, sosok yang dikenal lewat ilustrasi yang menyentuh, karakter yang bernyawa, dan cerita yang membumi sekaligus universal. Visual dalam film Ghibli bukan sekadar gambar, melainkan hasil dari proses panjang yang sarat refleksi dan jiwa.
Dalam dokumenter The Never-Ending Man: Hayao Miyazaki, ia menyebut demo animasi AI sebagai karya tanpa empati dan simbol bahwa manusia telah kehilangan kepercayaan pada kemampuannya sendiri. Bagi Miyazaki, karya seni seharusnya lahir dari pengalaman, kepekaan batin, dan perenungan, bukan dari kalkulasi algoritma semata.
Sebaliknya, generative AI bekerja cepat. Hanya dengan satu foto dan prompt, karakter ala Ghibli bisa tercipta dalam sekejap. Tidak ada proses emosional, tidak ada keterlibatan kreatif. Fenomena ini mencerminkan budaya visual instan yang kerap mengabaikan nilai, proses, serta penghargaan terhadap orisinalitas dan penciptanya.
Komunikasi Visual dan Rasa yang Tidak Bisa Diburu
Visual yang bertutur adalah medium untuk menyampaikan emosi, gagasan, dan kedalaman pengalaman. Miyazaki memahami ini secara utuh. Dalam karyanya, setiap gerakan awan, raut wajah, atau sudut cahaya dibuat dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian.
Animator Ghibli bahkan mengerjakan adegan berdurasi empat detik selama 18 bulan untuk film The Wind Rises. Semua dilakukan demi menciptakan atmosfer yang sedekat mungkin dengan realitas, membangun koneksi emosional, dan menyentuh sisi kemanusiaan penonton. Tidak ada elemen yang hadir tanpa niat. Setiap detail membawa lapisan pesan, meskipun seringkali tersirat.
Sementara itu, AI menghasilkan visual berdasarkan pola. Estetika menjadi seragam: mata besar, pipi merona, gradasi warna lembut. AI mungkin bisa meniru komposisi, tapi tidak memahami mengapa dua anak di Grave of the Fireflies menangkap kumbang, atau mengapa Mahito menatap batu putih di The Boy and the Heron. Mesin AI hanya menyalin permukaan, bukan esensinya. Hasilnya mungkin tepat secara teknis, tetapi terasa hampa secara emosional.
Oleh karena itu, komunikasi visual bukan hanya tentang keindahan. Budaya visual yang terburu-buru dan diformulasikan demi efisiensi serta keterjangkauan berisiko tidak lagi sejalan dengan prinsip komunikasi itu sendiri. Ketika visual berhenti menyampaikan sesuatu yang utuh, komunikasi berubah menjadi konsumsi. Bentuknya mungkin menarik, tapi kehilangan isi.
Keterbukaan Akses dan Apresiasi Proses Kreatif
Di tengah dunia yang serba cepat, kehadiran teknologi tidak selalu merugikan. Justru dalam banyak hal, teknologi menghadirkan manfaat yang patut diakui. Generative AI membuka akses yang jauh lebih luas terhadap gaya visual yang sebelumnya hanya bisa dinikmati melalui layar film atau dalam lingkup koleksi terbatas dari segmen pasar tertentu.
Gaya khas Ghibli kini bisa dijelajahi oleh siapa saja dalam hitungan detik. Bagi mereka yang mengenal budaya Jepang dan memahami karya-karya Ghibli, tren ini bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan bentuk ekspresi diri dan penghormatan terhadap nostalgia atas film-film yang pernah membentuk masa kecil mereka.
Dalam konteks komunikasi visual dan budaya populer, penyebaran gaya yang mudah direplikasi seperti ini dapat memperluas referensi kreatif, mempertemukan komunitas lintas minat, dan menjembatani generasi. Ketika satu gaya visual menjadi global dan terbuka untuk diolah kembali, kesempatan untuk mengenal budaya asalnya pun ikut meluas. Tidak hanya terhadap animasi Jepang, tetapi juga melalui kemungkinan akulturasi oleh pekerja kreatif dan animator Indonesia. Ruang kolaborasi dan pertukaran budaya antarnegara pun menjadi semakin terbuka.
Keberimbangan antara Nilai Komunikasi Visual dan Teknologi
Di tengah keterbukaan ini, penting untuk tidak kehilangan penghargaan terhadap proses. Estetika yang indah memang bisa dinikmati siapa saja, tetapi karya yang bernilai lahir dari perjalanan panjang. Ketika kecepatan menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan visual, kita berisiko melupakan bahwa di balik gambar yang menyentuh, selalu ada waktu, niat, dan empati yang tidak bisa dihasilkan secara instan.
Film dokumenter The Never-Ending Man: Hayao Miyazaki menangkap dengan jujur betapa pentingnya sentuhan manusia dalam proses kreatif. Di usia 84 tahun, Miyazaki masih memilih menggambar dengan tangan dan sangat berhati-hati dengan pendekatan teknologi yang menurutnya berisiko mengabaikan sisi kemanusiaan. Pandangannya mengingatkan kita bahwa proses bukan sekadar bagian dari produksi, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap pengalaman dan cara manusia merasakan dunia.
Tentu saja, zaman terus bergerak. Kita tidak bisa menolak kehadiran AI secara mutlak. Karena itu, dibutuhkan kesadaran dalam memanfaatkan teknologi secara bijak. AI bisa menjadi alat bantu yang luar biasa untuk memperkuat gagasan, bukan menggantikan proses. Komunikasi visual yang bermakna hanya akan tercipta jika di balik setiap teknologi tetap ada manusia yang berpikir, merasakan, dan bertanggung jawab atas apa yang ingin disampaikan.